Oleh : Ridwan Junaidi
Dirilis : Di Jambi, 8 Maret 2022.
Ungkap.co.id – Anda yang pernah mengalami zaman-zaman kejayaaan sungai Batanghari, saya berkeyakinan Anda akan merindukan zaman itu akan terulang lagi sekarang.
Betapa tidak, zaman itu (semasa saya masih duduk di bangku kelas 2 SD 3/IV di Kelurahan Olak Kemang, Kecamatan Danau Teluk, Kotamadya Jambi 1973-1974), suasana di sungai Batanghari sungguh ramai dan riuh oleh hilir mudik transportasi kapal, motor bermesin, tugboat gandeng ponton, tugboat bawa tongkang. Begitu juga, speedboat milik perusahaan besar seperti PT Heeching Timber, PT Dalek Esa Raya, Alas Kusuma, Tanjung Asa dan banyak lagi lainnya.
Keberadaan sungai Batanghari yang dinobatkan sebagai sungai terpanjang di Sumatera sekitar 800 kilometer yang membentang dari hulu Provinsi Sumatera Barat, hingga ke hilir yang bermuara di Muara Sabak, Kabupaten Tanjab Timur, waktu itu, sangatlah penting.
Di Jambi, sungai Batanghari mengalir melewati Kabupaten Bungo, Tebo, Batanghari, Muaro Jambi, Kota Jambi hingga ke pantai timur Tanjung Jabung.
Baca Juga : BWSS VI Jambi Canangkan Gerakan Sungai Batanghari Bersih
Penting dan vitalnya keberadaan sungai Batanghari mengingat transportasi jalan darat belum bisa diandalkan alias belum diaspal. Kendaraan tidak bisa berlari kencang karena kondisi jalannya keriting, apalagi jika turun hujan berubah jadi bubur, kerbaupun bisa berkubang.
Sebagai contoh, untuk sampai ke Kota Bangko waktu itu bernama Kabupaten Sarolangun Bangko, memakan waktu hingga seminggu. Apalagi kalau turun hujan, bisa lebih lama lagi. Saya waktu itu pernah berhari-hari tidur di hutan saat numpang bus Cap Harimau bersama datuk saya.
Sungai Batanghari memegang peran penting bagi pembangunan Provinsi Jambi, seperti pengangkutan material, alat berat, bahkan alat berat perusahaan diangkut menggunakan ponton yang ditarik tugboat ke hulu.
Kala itu saya sempat menyaksikan ponton milik PT Dalek Esa Raya, yang bermuatan alat berat sebut saja buldoser, loader, kepiting, gleder dan logging truck, berlabuh di daerah Pulau Pandan, persis di seberang Kelurahan Olak Kemang.
Baca Juga : Perbaiki Mesin, Seorang Pria Terjatuh ke Sungai Batanghari
Pendek kata Sungai Batanghari adalah primadona. Tongkang dari dan ke hulu selalu sarat muatan. Dari Kota Jambi memuat sembako, dan aneka alat rumah tangga, dan saat milir (sebutan akrab untuk menuju ke hilir), bawa hasil bumi seperti getah (karet), dan pisang. Sementara buah kelapa sawit belum ada.
Bagi kami masyarakat seberang kota, keberadaan sungai Batanghari memberi arti tersendiri sebagai sumber air untuk mandi, dan cuci. Sedangkan untuk masak dan minum dari sumur atau air sungai Batanghari yang diolah pakai zat kimia. Air ini dibeli dari jasa tukang pikul air. Sementara air PAM baru mulai ada di seberang pada sekitar 1975.
Sejalan perjalanan waktu, tatkala semasa kepemimpinan Gubernur H Masjchun Sofwan (1979-1989) hal pertama yang dilakukan adalah mengaspal jalan serta meretas daerah-daerah terisolir.
Mantan bupati Temenggung ini melakukan percepatan pembangunan di segala sektor, utamanya infrastruktur jalan, dan jembatan. Suami hj Juniwati Masjchun Sofwan (anggota DPD RI 2 periode), sangat cekatan dan punya talenta khusus.
Baca Juga : Pemilik Sumur Minyak Ilegal yang Terbakar di Batanghari Diburu Polisi
Masjchun sangat paham apa yang harus dia lakukan untuk Provinsi Jambi yang notabene agak tertinggal dibanding provinsi lainnya. Makanya dia bikin gebrakan cepat di sana-sini.
Melalui tangan dingin H Masjchun Sofwan, Provinsi Jambi tumbuh pesat dan dikenal. Saat itu, dia boyong sejumlah atlet ternama untuk mempromosikan Jambi ke luar. Seperti, dari cabor renang ada Raja Murnisal Nasution dan keluarga, raja tinju kelas layang nasional, Herry Maitimu, dan sejumlah atlet angkat besi/angkat berat dan atletik.
Pada periode pertamanya sebagian besar jalan sudah diaspal termasuk membangun jembatan. Di mana, selama ini untuk menyeberang sungai harus berlayar naik feri atau biasa disebut pelayangan. Mobil diangkut feri dan harus ngantre untuk diseberangkan.
Nah kondisi ini jugalah yang memakan waktu lama di perjalanan. Ada yang ngantre beberapa hari. Karena mobil banyak, puluhan bahkan seratusan sedang feri cuma satu yang hanya bisa memuat 3-4 kendaraan.
Pokoknya sangat menyiksalah. Letih dan menguras tenaga. Sebagai gambaran kalau kita mau ke Bangko, cuma satu pelayangan. Tapi kalau ke Tebo dan Bungo lebih lama lagi, harus lewat 2 pelayangan, yakni pelayangan Muara Tembesi dan pelayangan Muara Tebo. Belum lagi jika mesin ferinya ngadat, maka lengkaplah sudah penderitaan kita.
Baca Juga : Ketua DPRD Merangin Mendukung Upaya Bupati untuk Mengatasi Persoalan PETI
Itulah sekilas deskripsi ketika jalan belum diaspal dan belum dibangun jembatan. Lantas muncul pertanyaan dari seorang teman, bisakah sungai Batanghari diberdayakan sesuai dengan fungsinya. Saya jawab kalau mau, tidak ada yang tidak bisa. Tapi untuk mewujudkannya tidak semudah membalikan telapak tangan.
Mengingat kondisinya juga tidak seindah dulu lagi. Eranya pun sudah berubah. Karena di beberapa tempat terjadi erosi dan sedimentasi (pendangkalan) yang sangat parah. Belum lagi kondisi airnya yang keruh, butek kecoklatan yang sempat membuat Wapres Jusuf Kalla, geleng-geleng kepala, saat berkunjung ke Jambi beberapa tahun lalu.
Kalaulah wajah kusut masai Sungai Batanghari tadi bisa dipermak diperindah–maka apapun bisa dibikin. Menawarkan keelokan sungai Batanghari ke calon investor, semisal membangun wisata sungai, restoran terapung, itu semua bisa mendatangkan devisa dari sektor wisata.
Tapi kalau kondisi sungai Batanghari yang compang camping dan banyak sampah seperti sekarang, calon investor manapun mikir-mikir untuk menanamkan modalnya.
Baca Juga : Akibat PETI, Wabup: Semua Sungai di Bungo Airnya Warna Kuning
Lantas bagaimana dengan rencana Pemprov Jambi untuk menjadikan jalur tongkang batu bara? Waktu saya masih di harian Tribun Jambi, kami pernah mengupas rencana (waktu itu Gubernur Hasan Basri Agus) yang mau menggandeng pengusaha India melakukan pengerukan beberapa titik sedimentasi di sebelah hulu dan hilirnya.
Waktu itu, HBA menyebutkan dirinya ingin meramaikan jalur tranportasi air. Bahkan HBA menyebut Synco Global perusahaan dari India–yang juga punya tambang batu bara di Kabupaten Sarolangun akan melakukan pengerukan di beberapa titik–yang sudah disurvei.
Katanya kala itu, pengerukan akan dilakukan dari kawasan Tembesi, Kabupaten Batanghari hingga ke Nipah Panjang, Kabupaten Tanjab Timur.
Dari hasil kerjasama itu, Synco Global akan memberi royalti kepada Pemprov Jambi. Keuntungan sudah di depan mata. Tapi, sangat disayangkan, setelah HBA sudah tidak Gubernur Jambi lagi, (saat Pilgub kalah dari Zumi Zola) maka cerita itupun bagai ditelan bumi.
Bagaimana dengan Gubernur Al Haris dan wakilnya, Abdullah Sani, adakah dia punya program unggulan untuk sungai Batanghari, seperti pendahulunya yang juga orangtua angkatnya, HBA–yang ingin menghidupkan sungai Batanghari.
Apakah Al Haris punya nyali mau wewujudkan mimpi-mimpi HBA tersebut, yang keburu masuk angin, wallahualam bishawab, kita lihat sajalah. Wait and see.
Baca Juga : Singgah di Dusun Tanjung Menanti-Bungo, Kapolda Minta Hentikan Aktivitas PETI
Tapi, untuk periode ini, saya yakin Al Haris juga mikir-mikir 13 kali untuk mewujudkan pendahulunya HBA. Karena apa? Yang jelas untuk membangun transportasi sungai, katakanlah mengalihkan angkutan batu bara dari jalan darat (pakai dump truck) ke sungai menggunakan ponton–butuh biaya yang tidak sedikit.
Belum lagi ekses sosial lainnya. Muncul masalah baru lagi. Mau makan apa anak bini ratusan bahkan ribuan sopir truk batu bara yang akan kehilangan pekerjaan, andaikan jalan batu bara dialihkan ke sungai.
Plus minusnya tetap ada. Lewat sungai memang hemat cost (pengeluaran). Batu bara bisa diangkut dalam partai besar ribuan ton, dari hulu hingga ambang luar atau bisa langsung ke negara tujuan.
Dan jalan darat pun tidak lagi diramaikan riuhnya truk batu bara–yang dari dulu hingga sekarang bikin macet tidak ketulungan. Sementara rencana mau membangun jalan khusus (special road) batu barat bukanlah pekerjaan gampang.
Sebetulnya kerusakan infrastruktur sungai Batanghari, tidak cuma tanggung jawab Pemprov Jambi, tapi juga sejauh mana peran institusi/lembaga vertikal lainnya seperti Balai Daerah Aliran Sungai (DAS), dan Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) VI. Normalisasi sungai adalah bagian dari PR mereka.
Ah, sudahlah kenapa pula kok aku jadi sibuk ngurusi masalah Sungai Batanghari–yang sebetulnya bukan urusanku ya…hehe. Bukankah semuanya ini sudah ada yang mengurusnya.
Tapi yang jelas aku sangat empati dengan kondisi terkini sungai kebanggaan orang Jambi ini. Sungai kebanggaanku.
Aku rindu senyum mu–yang kata orang tenang-tenang tapi menghanyutkan.
Tiba-tiba saja, kok malam ini aku rindu gemiricik suara air dari sang pengayuh sampan, serta kelap kelipnya temaram lampu di tongkang.
Baca Juga : Selama Menjabat, Kapolda Jambi Belum Lihat Kerja Nyata Pemda Tangani PETI
Dan sensasi lezatnya rujak mie dan pempek kampung, mangcek yang berjualan di atas perahu kecilnya beratapkan nipah, menjajakannya dari kapal ke kapal dan tongkang hingga berlabuh di Tanah Timbun.
Aku rindu beningnya air mu yang mengalir dari hulu hingga ke hilir melintasi pedestarian Abdurrahman Sayoeti (Arasy) yang membentang membelah kota Jambi.
Kini warna mu tidak lagi bening, suci dan berubah kecoklatan seperti teh susu. Diperparah lagi, sekujur tubuhmu berlumur kotoran karena diobok-obok para penambang emas tanpa izin (PETI) di hulu sana.
Entah kapan lagi kita bisa melihat Sungai Batanghari yang dulu. Yang konon ramah, damai, elok termasyhur sejak zaman kerajaan Melayu berkuasa pada 7 M -14 M silam. Meninggalkan jejak-jejak peradaban agung di sepanjang sungai mu.