Quo Vadis Pendidikan dalam Pandemik Covid-19

A. Boko, Pendiri Komunitas Dewantara STKIP Kie Raha Ternate. Foto : Adi

Opini Oleh: A. Boko
Pendiri Komunitas Dewantara STKIP Kie Raha Ternate

”Pendidikan harus mampu menciptakan manusia yang berkarakter dan memiliki kepekaan sosial yang humanis” (Syaifudin, 2011: 129).

Pengantar

Tulisan ini diharapkan dapat memberikan kita pandangan tentang pentingnya kebijakan pemerintah dalam pandemik, khususnya dunia pendidikan. Kebijakan pendidikan yang pro-keadilan. Tidak memihak pada produksi pasar atau pelaku usaha yang profit-orientet dalam pandemik Covid-19. Ya, memang ada discursus lintas anak muda yang tidak terorganisir, karena takut dibilang makar, anti pemerintah dan pencemaran nama baik (atasnama institusi).

Sebagai pendidik, ada yang bilang begini ke saya; corona itu jatuh dari langit atau tumbuh karena ada yang menanam? saya memberikan pernyataan yang kira-kira tidak memihak dan memojok. Simpel jawabannya; satu diantaranya pasti terbukti; antara jatuh dari langit dan ada yang sengaja untuk menanam patologi ini.

Bagi saya, menariknya adalah keadilan pendidikan dalam pandemik Covid-19. Keadilan, tentunya yang menjadi point penagasan, yakni kebijakan pemerintah. Asyiknya menjadi menteri. Bagi mentri perdagangan dan industri. Ini merupakan era baru, mungkin pelaku-pelaku usaha harus siap berkompetisi di media sosial.

Kelas ekonomi, menengah keatas bertepuk tangan. Kelas ekonomi rendah akan merana dan terkunci dalam kemiskinan. Miskin karena keadilan. Sedangkan menteri pendidikan, lebih mempertegas libur dengan cara belajar daring (online).

Mungkin kali ini, Telkomsel dan Indosat mendapat bonus demografi ditengah pandemik Covid-19. Aplikasi online menjadi trend dalam komodifikasi belajar fisik. Kita membayangi, enaknya jadi menteri pendidikan. Tanpa riset yang memadai, dari Sabang-Merauke sorak –sorik belajar online ditengah fasilitas abad 18 yang berbeda dengan tuntutan model pendidikan abad 20 (4.0).

Covid-19 merampas peran pemerintah di bidang pendidikan, karena alokasi anggaran ratusan bahkan miliyaran rupiah digunakan untuk belanja peralatan pencegahan demi keselamatan masyarakat.

Penulis kemudian berpikir, seandainya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) jauh sebelum wabah ini datang, sudah harus memberikan saran kepada pemerintah untuk mendorong “literasi tecnology” dengan pos anggaran yang sebesar anggaran corona, maka mutu pendidikan tetap dijaga dalam kondisi apapun. Tujuannya adalah menjawab melek IT untuk siswa dan guru.

Desentralisasi Pendidikan

Pemerintah pusat berpikir bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Otda, mengisyaratkan kepada kita mengenai kemungkinan-kemungkinan pengembangan suatu wilayah dalam suasana yang kondusif dan dalam wawasan yang lebih demokratis.

Hadirnya Otda diikuti oleh desentralisasi pendidikan, daerah diberikan wewenang untuk mengurus dirinya sendiri termaksud pendidikan. Problem pendidikan pra dan pasca otonomi memang beragam. Nah, sekarang kita dihadapkan dengan masalah baru, yakni pendidikan ditengah pandemik. Penyakit yang membuat pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan untuk melaksanakan sekolah dengan cara daring (online). Sisiwa harus stay at home.

Tak ada salahnya bagi sekolah yang maju. Dan memiliki basis ekonomi yang kuat. Bagi daerah yang lebih mengedepankan political will di bidang pendidikan, ibarat pribahasa; “sebelum hujan sediakan payung”. Bukan; “terguyur hujan baru sediakan payung”. Terakhir korbannya adalah peserta didik. Daerah yang tidak siap, karena pemerintahnya tidak serius. Akhirnya dimasa pandemik media pembelajaran di kecamatan atau desa terluar belajar menggunakan radio.
Faktanya ialah radio hampir tidak dimiliki masyarakat desa atau kecamatan. Masyarakat justru lebih menggunakan TV (kebutuhan hiburan).

Oleh karena itu, Dinas Pendidikan harus mampu menjawab kebutuhan belajar siswa dengan menggunakan media TV, bisa dibilang cukup. Katakanlah TVRI dan TV lokal lainnya untuk menopang pembelajaran daring. Pernyataan tanpa survei, konsep, dan bajet akan mematikan harapan siswa untuk sekolah. Ya atau tidak. Dampak dari kebijakan pemerintah tentang desentralisasi adalah pelimpahan wewenang dan otoritas pemerintah pusat kepada daerah.

Pemerintah daerah tidak bisa, terjebak pada konstalasi politik lokal saja sehingga mengabaikan nasib pendidikan. Siswa membutuhkan negara untuk hadir dan berkontribusi langsung terhadap kebutuhan-kebutuhan pembelajaran dalam Covid-19.

Desentralisasi pendidikan diterapkan untuk peningkatan mutu. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa dampak positiif atas kebijakan desentralisasi pendidikan meliputi; peningkatan mutu, efisiensi keuangan, efisiensi administrasi, dan perluasan pemerataan, Suyoto (Dwinigrum, 2011: 9).

Hal ini dapat dilihat dari:
Kajian Bank Dunia bahwa desentralisasi pendidikan menyangkut masalah pembiayaan pendidikan, peningkatan efisiensi, dan efektivitas usaha pendidikan; pembagian kekuasaan politik; peningkatan kualitas pendidikan; dan peningkatan inovasi dalam pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Dalam konteks ini, pemerintah pusat melalui pemerintah daerah atau Dinas Pendidikan harus melihat wabah ini dengan mengedepankan asas keadilan sesuai dengan spirit otonomi daerah (desentralisasi pendidikan) dan Pancasila sebagai falsafah bangsa, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jika tidak, maka desentralisasi merupakan project murni elit politik. Maka sudah tentu mutu dan inovasi pendidikan tidak bisa dijangkau oleh sekolah, baik sebelum maupun pada saat pandemik Covid-19.

Di era desentralisasi pendidikan, harus diikuti dengan literasi tecnology yang berdasarkan pada nilai kebudayaan. Hal ini membutuhkan kerja keras dan keseriusan pemerintah daerah untuk mendorong perubahan yang sifatnya cukup dinamis. Tranformasi pendidikan itu terjadi tanpa mengenal wabah, artinya tanggungjawab pemerintah terhadap pendidikan itu tidak serta-merta karena wabah Covid-19.

Ini catatan bagi pemerintah daerah. Inovasi pembelajaran daring bukan tututan wabah tetapi otonomi daerah. Disini kita dituntut untuk membangun kompotitif dengan daerah lain dari berbagai sektor, baik ekonomi, politik, budaya dan pendidikan.

Quo Fadis Tranfer “Knowledge”

Dalam pandemik Covid-19. Mudakah guru dalam transfer pengetahuan (knowledge) dan pengembangan ketrampilan anak yang mampu menumbuhkan nilai (values), atau dalam istilah Ki Hadjar Dewantara sebagai budi pekerti.

Istilah pendidikan modern menyebutnya karakter atau “caracter”. Apa mungkin Dinas Pendidikan memiliki data, beberapa banyak orang tua siswa (petani) yang ada di pelosok Desa belum begitu memahami pengaruh gadget dan fungsi kontrol yang lemah karena pemahaman akan memunculkan polemik baru ditengah pandemik Covid-19.

Jangan dulu bangga dengan belajar yang mudah. Dinas Pendidikan hanya bisa berbicara pada skala belajar daring (online). Tetapi peta konsep untuk pelaksanaan membutuhkan desain, metode dan strategi yang matang. Hal ini yang kemudian akan mengerucut sampai pada nilai guna (use value).

Pendidikan bisa menumbuhkan karakter cinta akan tanah air melalui spirit gotong royong. Nah apa lagi, sikap ini ditunjukkan pada anak-anak SD kelas satu, dua dan tiga. Mereka membutuhkan dunia fisik untuk menerapkan semua nilai tersebut, bukan rekayasa teknologi semata.

Bisa dengan rekayasa teknologi, akan tetapi kita membutuhkan SDM dari tripusat pendidikan, yakni masyarakat, sekolah dan orang tua yang andal.
Bagaimana belajar menggunakan daring. Bagi daerah yang tidak ada akses internet juga menjadi kendala. Guru yang tidak melek tecnology dengan mudah akan menerima kondisi ini sebagai bagian dari tranformasi yang biasa.

Sedangkan guru yang sudah berusia lanjut dan tidak terbiasa dengan gadget akan terkendala dalam interaksi daring. Bahkan mungkin kehilangan arah dan harapan bisa tatap muka dengan siswa. Sekali tatap muka; memberi tugas mencatat dan menjawab soal menggunakan buku teks, sekali ketemu dan dua tiga bulan kemudian sudah semester.

Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Pasal 1 “guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”.

Oleh karena itu, nilai-nilai pendidikan merupakan bagian penting yang sering terlupakan dalam proses pembelajaran selama ini. Padahal jantung dari pendidikan itu sendiri adalah proses untuk mengembangkan watak optimisme dalam diri manusia (peserta didik), memberikan kesadaran kritis agar manusia mampu mengembangkan penalaran, memanggil kepada manusia akan kebenaran hakiki, dan memberikan pencerahan iman serta akal budinya.

Dengan pendidikan yang sangat menekankan pada aspek nilai, diharapkan lahir manusia yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap penegakan nilai-nilai kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan kemajuan yang merupakan nafas (ruh) dalam kehidupan manusia di bumi ini (Subur, 2007: 1).

Pendidikan membawa kita pada dunia yang lebih manusiawi, dengan perubahan-perubahan yang tidak terkontaminasi oleh kepentingan pasar internasional. Kenapa?
Undang-Undang Dasar 1945, menegaskan bahwa: “pendidikan merupakan hak segala bangsa”. Jika hari ini, ada anak bangsa yang tidak mampu kuliah, maka tujuan negara melalui UUD 1945 harus dipertanyakan.

Disinilah pendidikan merupakan sesuatu yang paling asasi. Artinya bahwa pendidikan ialah hak seluruh anak bangsa. Oleh karena itu, pendidikan harus diarahkan pada sublemasi nilai-nilai ke Indonesiaan.

Nilai membutuhkan kontak fisik sehingga dapat menumbuhkan rasa cinta, rasa bersatu dan lain-lain perasaan dan keadaan jiwa yang pada umumnya sangat berfaedah untuk berlangsungnya pendidikan, terutama pendidikian budi pekerti (Dewantara, 1977: 71).

Kita berharap kebijakan belajar daring harus dipahami betul konsepnya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Perguruan tinggi memang tidak begitu masalah karena sistemnya anrogogik (belajar orang dewasa).

Akar kekerasan adalah ketika sistem ekonomi yang bersifat kapitalistik, membuat banyak orang terteror dengan kebutuhan hidupnya sendiri, tertekan oleh keadaan, dan kemudian melakukan hal-hal yang berada di luar batas-batas kemanusiaan.

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sisdiknas. Pasal 3 “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.

Sebagaimana diungkapkan oleh Mahatma Gandhi, “akar kekerasan itu adalah kemewahan tanpa bekerja, kesenangan tanpa hati nurani, ilmu tanpa kepribadian, perdagangan tanpa moralitas, sains tanpa humanitas, penyembahan tanpa pengorbanan, politik tanpa prinsip nilai” (Mu’in, 2011: 41).

Dengan demikian, pandemik Covid-19 dan demam aplikasi pembelajaran yang notabenenya sain diharapkan tidak berkontradiksi dengan esensi pendidikan itu sendiri. Maka Covid-19. Pendidikan kita, mengarah pada dua kemungkinan; pertama persaingan global (industrialisasi pendidikan), dan kedua; murni inovasi pendidikan yang mengikuti situasi pandemik Covid-19.

Catatan Untuk Pengendali Kebijakan

Dinas pendidikan belum terintegrasi dengan sekolah secara baik. Pemerintah daerah lebih mengutamakan penanganan Covid-19 dengan cara memberikan biaya ratusan bahkan milyaran untuk pembelian alat. Hal ini yang terjadi.

Dinas Pendidikan tidak memiliki konsep yang jelas untuk mengeluarkan kebijakan belajar daring (online) dengan indikator evaluasinya.

Pemerintah daerah harus hadir untuk mengangkat harkat dan martabat daerahnya sendiri melalui pendidikan. Salah satunya adalah mendorong APBD untuk perbaikan SARPRAS, sehingga kesiapan selalu ada walaupun kita dihadapkan dengan kebijakan di dunia pendidikan yang agak ketat. (Adi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *