Oleh: Dr. Suriyanto Pd, SH., MH., M.Kn, Pakar Hukum, Dosen Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta
Ungkap.co.id – Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia Capres dan Cawapres yang gugatannya diajukan oleh Almas Tsaqibbirru mahasiswa Universitas Surakarta ini menuai kecaman publik. Pasalnya MK mengabulkan sebagian permohonan pengujian pasal 169 huruf q UU Pemilu 7 tahun 2017 yang bertujuan memberikan peluang untuk generasi muda milenial dapat maju sebagai Capres dan Cawapres di bawah usia 40 tahun, dengan penambahan Frasa pernah/atau sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk Pilkada maju dalam Pemilu 2024.
Untuk mewakili generasi muda, hal ini wajib dicermati oleh semua generasi muda di semua lapisan bahwa putusan ini sangat merugikan generasi muda seluruh Indonesia.
Ada beberapa putusan sebelum putusan MK Nomor 90, yaitu putusan Nomor 29,51 dan 55, dengan alasan hal tersebut bukan merupakan persoalan Konstitusi, melainkan open legal policy.
Tetapi jika dipahami secara mendalam sesungguhnya, MK menuruti keinginan DPR dan Pemerintah sebab sesuai fakta MK telah melepaskan predikat kekuasaan kehakimannya yang seharusnya menjalankan fungsi checks and balance sebagai amanat konstitusi, yang tertuang pada pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Baca Juga : Jangan Salah Memilih Pemimpin, Berikut Kriteria Pemimpin yang Baik
Terbukti DPR komisi 2 telah menyetujui perubahan PKPU dan putusan MK Nomor 90 yang cacat formil dan materil untuk dilaksanakan.
Dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, secara subtansial dengan tiga putusan lainya mempersoalkan pasal yang sama, menjadi aneh setelah rapat dua jam yang dipimpin oleh Anwar Usman jadi mengabulkan sebagian dengan menambah Norma Baru.
Dalam hal ini MK telah melakukan praktik cherry-picking jurisfrudece (subjektifitas hakim dalam membuat putusan). Dengan melakukan constitutional polcy, padahal pada putusan sebelumnya menolak dengan open legal policy, alias bukan kewenangannya. Anehkan?
MK menjalankan prosedur diluar nalar hukum, dengan tiga putusan sama dengan gugatan yang sama. Dengan tiga putusan sama dan yang satunya lain, praktek ini justru tidak mencerminkan keadilan meski hal tersebut tidak ada aturannya di MK.
Baca Juga : Purnabakti Apresiasi Pembangunan Batam Dibawah Kepemimpinan Muhammad Rudi
Ada dua fakta pendapat Hakim MK yang berbeda yaitu, concuring opinion dari 2 hakim MK, dan ada 3 disenting opinion dari tiga hakim MK. Itu dapat ditafsirkan ada kegamangan didiri sejumlah hakim MK saat memutus keempat putusan tersebut.
Jika merujuk pada (vide disenting opinion) yang dilakukan oleh Prof Arif Hidayat salah satu hakim MK, Putusan MK Nomor 90/PUU/XXI/2023 juga bertolak belakang dengan putusan MK yang lainnya dengan perkara yang sama tentang batas usia.
Hal ini seperti pengujian UU Perkawinan yang dinaikan jadi usia 19 tahun bagi wanita yang termuat dalam putusan MK Nomor 22/PUU/XI/2017. Pada putusan ini MK memberi batas waktu 3 tahun untuk melakukan revisi pada UU Perkawinan terkait usia perkawinan bagi kaum wanita yang menjadi 19 tahun. Lantas apa bedanya dengan penambahan frasa pada pasal 169 huruf q yang menguji batas usia Capres dan Cawapres, harusnya berlaku sama.
Baca Juga : Ketua DPRD Kota Bogor Ajak Santri Menjadi Pemimpin Berlandaskan Iman
MK dalam hal ini bersikap sebagai positive legislator dengan membuat norma baru pada pengujian pasal 169 huruf q UU Pemilu.
Putusan Nomor 90 yang menambah frasa tersebut juga berimplikasi pada Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 secara informal dengan penafsiran konstitusi berbeda oleh MK pada gugatan yang sama.
Pasal 6 ayat (1) yang semula berbunyi “Calon Presiden dan Wakil Presiden harus warga negara indonesia yang sejak lahir dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Ditambah frasa menjadi “Berusia minimal 40 tahun atau pernah/sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pilkada”. Frasa ini justru hanya menguntungkan segelintir orang saja.
Baca Juga : Bupati Tebo: Pemimpin Mencari Solusi dan Pimpinan hanya Bisa Merintah
Hal ini harus dipahami oleh seluruh generasi milenial, Gen Z dan para pemilih pemula putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak sama sekali mewakili generasi muda Indonesia secara umum. Karena putusan tersebut hanya untuk kepentingan segelintir orang dengan dalih mewakili generasi muda.
Padahal kaum muda milenial secara umum tidak dapat maju jadi Capres dan cawapres di usia 35 tahun jika tidak sedang menjabat atau pensiunan kepala daerah.
MK juga sesungguhnya telah mengabaikan amanat konstitusi secara terbuka dan tidak taat serta patuh dengan Pasal 6 ayat (2) / Pasal 24 huruf C UUD RI dan seharusnya MK tidak boleh mengabulkan sebagian gugatan Almas. (***)