MK Jangan Membuat Norma Hukum Baru yang Bukan Kewenangannya

Dr. Suriyanto Pd, SH., MH., M.Kn, Pakar Hukum, Dosen Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta. Foto : Dok

Oleh: Dr. Suriyanto Pd, SH., MH., M.Kn, Pakar Hukum, Dosen Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta

Ungkap.co.id Pendaftaran Capres-Cawapres tinggal menghitung hari, masyarakat menunggu berita dari masing-masing Parpol pengusung, tetapi yang menjadi pertanyaan dan ramai diperbincangkan di kalangan praktisi, aktivis terutama orang-orang hukum adalah terkait dengan gugatan perubahan usia Cawapres yang saat ini tengah bergulir gugatannya di Mahkamah Konstitusi.

Bacaan Lainnya

Semua orang hukum dan para ahli hukum di Indonesia ini hendaknya tahu dan pasti tahu bahwa kewenangan MK hanya ada 4 yang diantaranya menguji UU yang bertentangan dengan UUD 1945.

MK tidak memiliki wewenang ataupun kewenangan untuk membuat Norma Hukum Baru. Karena hal tersebut menjadi kewenangan Pemerintah dan DPR RI komisi hukum sebagai open legal policy. Hal ini harus menjadi perhatian khusus masyarakat hukum.

Tetapi ada suatu keanehan akhir-akhir ini terhadap lembaga MK memutus sesuatu tidak lagi menggunakan norma hukum yang benar bahkan MK acap kali membuat norma hukum baru yang bukan kewenangannya.

Sebagai contoh dengan permasalahan jabatan ketua umum organisasi advokat yang tidak diatur dalam UU dan UUD 1945. Di mana MK memberi putusan untuk jabatan tersebut menjadi hanya dua periode masa jabatan, kemudian juga terjadi pada jabatan komisioner KPK yang ditambah satu tahun hal ini jadi preseden buruk dan melanggar sistem hukum.

Baca Juga : Ketum PWRI: Berikan Informasi Cerdas, Jangan hanya Mengejar Page View

Yang lebih parah lagi pengujian tentang jabatan ketua umum parpol yang tidak diatur dalam UU Parpol bahwa masa jabatan tidak terbatas, MK berpendapat hal itu adalah open legal policy yang bukan wewenangnya. Padahal ketentuan ketua umum parpol itu sangat penting karena menyangkut nasib bangsa yang jauh lebih penting dari organisasi advokat karena Parpol sebagai organisasi yang mencetak calon pemimpin bangsa. Jadi pimpinannya harus ada pembatasan secara jelas inilah contoh-contoh kekeliruan MK. Karena pembatasan ketum parpol lebih penting untuk menghindari dinasti politik.

Jika MK merubah usia Capres dan Cawapres yang saat ini juga dalam perjalanan gugatan judicial rivew di MK diputus dengan mengubah usia Capres dan Cawapres tersebut maka makin kacaulah dunia hukum Indonesia karena lagi-lagi MK membuat Norma Hukum Baru yang bukan kewenangannya.

MK lembaga independen bukan lembaga keluarga yang bisa diatur-atur oleh siapapun demi memuluskan kepentingan politik atau demi kepentingan politik dinasti segelintir orang. Hal ini harus menjadi perhatian bersama masyarakat hukum dan masyarakat pada umumnya demi kepentingan bangsa yang lebih baik ke depan. MK sebagai lembaga hukum jangan membela kepentingan kelompok ataupun keluarga.

Oleh para pembentuk undang-undang, konsep open legal policy ini disebut sebagai konsep akuntabilitas konstitusi apabila dasar, motif, dan tujuan atau kebutuhan konstitusional tersebut sudah tidak lagi dibutuhkan maka peraturan tersebut akan menjadi inkonstitusional di masa depan.

Baca Juga : Pemda Bungo Warning Pangkalan Gas LPG 3 Kg yang Jual Gas Tak Sesuai Aturan

Selain itu, open legal policy ini tidak dapat dijalankan dengan sebebas-bebasnya dan harus memperhatikan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum selaras dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, menyatakan : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Untuk mencapai keseimbangan antara hak dan kewajiban, yaitu dengan cara mengetahui posisi diri kita sendiri. Sebagai seorang warga negara harus tahu hak dan kewajibannya.

Seorang pejabat atau pemerintah pun harus tahu akan hak dan kewajibannya. Seperti yang sudah tercantum dalam hukum dan aturan-aturan yang berlaku. Jika hak dan kewajiban seimbang dan terpenuhi, maka kehidupan masyarakat akan aman sejahtera. Hak dan kewajiban di Indonesia ini tidak akan pernah seimbang.

Apabila masyarakat tidak bergerak untuk merubahnya. Karena para pejabat tidak akan pernah merubahnya, walaupun rakyat banyak menderita karena hal ini.

Mereka lebih memikirkan bagaimana mendapatkan materi daripada memikirkan rakyat, sampai saat ini masih banyak rakyat yang belum mendapatkan haknya.

Baca Juga : 313 Mahasiswa UMMUBA Diwisuda, Rektor: Manfaatkan Peluang yang Ada

Oleh karena itu, kita sebagai warga negara yang berdemokrasi harus bangun dari mimpi kita yang buruk ini dan merubahnya untuk mendapatkan hak-hak dan tak lupa melaksanakan kewajiban kita sebagai rakyat Indonesia.

Sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD 1945 pada pasal 28, yang menetapkan bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang. Pasal ini mencerminkan bahwa negara Indonesia bersifat demokrasi.

Pada para pejabat dan pemerintah untuk bersiap-siap hidup setara dengan kita. Harus menjunjung bangsa Indonesia ini kepada kehidupan yang lebih baik dan maju. Yaitu dengan menjalankan hak-hak dan kewajiban dengan seimbang. Dengan memperhatikan rakyat-rakyat kecil yang selama ini kurang mendapat kepedulian dan tidak mendapatkan hak-haknya. (***)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *