Sedangkan ayat 2 berbunyi, identitas sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi nama anak pelaku, nama anak korban, nama anak saksi, nama orangtua, alamat, wajah dan hal lain yang dapat mengungkap jati diri anak, anak korban, dan/atau saksi.
Sanksi atas pelanggaran UU SPPA Pasal 19 Ayat 1 ini sesuai pasal 97 yaitu pidana penjara 5 tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta.
“Jadi jelas sekali bahwa anak itu tidak boleh diberitakan secara vulgar baik mengenai nama, alamat dan identitas anak sebab ancaman hukumannya cukup berat. Untuk itu berhati-hatilah bila menulis atau men-share tentang anak,” pinta Ilham.
Ilham menambahkan, apabila menampilkan video maupun foto anak pelaku, anak korban maupun anak saksi maka wajib hukumnya untuk disamarkan (blur) sehingga tidak kelihatan identitasnya.
Baca Juga : Resahkan Warga, 54 Remaja Anggota Geng Motor di Kota Jambi Ditangkap Polisi
“Kasus anak bukan tidak boleh diberitakan. Ya boleh saja. Asalkan jangan mengungkap identitas, alamat, sekolah, nama keluarga dan petunjuk yang mengarah kepada identitas anak. Jadi media massa maupun media sosial harus tetap menjalankan fungsi kontrol sosial agar masyarakat tetap waspada sekaligus menjadi efek jera bagi pelaku. Intinya harus memperhatikan kode etik pemberitaan kasus anak yang mengacu pada regulasi yang ada,” ujar Ilham.
“Jangankan untuk mempublikasikan wajah/identitas anak pelaku, untuk mempublikasikan wajah/identitas anak saksi pun dilarang dalam UU SPPA tersebut,” tambah Ilham.
Lanjutnya, anak yang menjadi saksi tindak pidana (anak saksi), yaitu anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.