Oleh: Mukhtadi Putranusa adalah, Wakil Ketua Kadin Provinsi Jambi
Ungkap.co.id – Belakangan ini Gubernur Jambi Al Haris seolah tak pernah lepas dari sorotan tajam. Apapun langkah yang diambil, selalu ada pengamat, penulis, bahkan media sosial yang menjadikannya bahan kritik.
Mulai dari pembangunan Islamic Center, pembangunan stadion Swarna Bhumi, kebijakan mendorong investasi, hingga program digitalisasi pun dipersoalkan.
Kritik tentu perlu, bahkan penting dalam demokrasi. Namun, ketika setiap kebijakan hanya dilihat dari sisi negatif tanpa menimbang manfaat jangka panjang, kritik bisa berubah menjadi kontraproduktif.
Pembangunan Islamic Center, misalnya, bukan sekadar proyek fisik, melainkan upaya menghadirkan pusat peradaban dan kegiatan umat yang memperkuat identitas kultural-religius Jambi.
Begitu pula stadion Swarna Bhumi yang bukan hanya arena olahraga, tetapi juga peluang event besar, geliat ekonomi kreatif, hingga prestasi olahraga daerah.
Al Haris juga sering dikritik karena mendorong investasi. Padahal, tanpa investor, mustahil pembangunan daerah bergerak cepat.
Baca Juga : Dibawah Guyuran Hujan, Ketua DPRD Jambi Terima Aspirasi Masyarakat
Infrastruktur, lapangan kerja, hingga peningkatan PAD membutuhkan kehadiran modal besar. Tugas pemerintah adalah memberi ruang aman dan regulasi sehat agar investasi memberi manfaat bagi masyarakat.
Di era serba digital, langkah Gubernur memperkenalkan program digitalisasi juga dipandang sinis. Padahal, ini bukan gaya-gayaan, melainkan kebutuhan.
Dunia kerja, pelayanan publik, hingga perekonomian sudah bergeser ke arah digital. Jika Jambi tidak ikut beradaptasi, maka akan tertinggal jauh dari provinsi lain.
Sebagian kalangan berpendapat bahwa digitalisasi hanyalah instrumen pendukung, bukan motor utama pertumbuhan ekonomi Jambi.
Argumennya, pertumbuhan ekonomi Jambi triwulan II 2025 yang hanya 4,99% masih ditopang sektor pertambangan. Digitalisasi perbankan dan transaksi non-tunai dinilai belum berkontribusi signifikan pada penciptaan nilai tambah riil di sektor produktif seperti industri, pertanian, dan manufaktur.
Literatur ekonomi pembangunan juga menyebutkan, digitalisasi baru optimal jika diiringi peningkatan kapasitas SDM, infrastruktur digital yang merata, serta regulasi yang melindungi UMKM dari dominasi platform besar (Brynjolfsson & McAfee, 2014).
Tanpa itu, digitalisasi berpotensi memperlebar kesenjangan karena hanya dinikmati masyarakat urban, sementara warga pedesaan masih terkendala akses internet, literasi digital, dan modal usaha.
Bahkan, penggunaan QRIS dan pembayaran digital dinilai lebih banyak untuk transaksi konsumtif. Jika fokusnya hanya konsumsi, efek multiplier terhadap ekonomi daerah memang terbatas.
Digitalisasi Sebagai Motor Transformasi
Namun melihat digitalisasi hanya dari angka makro jangka pendek terlalu simplistik. Transformasi digital adalah soal daya saing dan produktivitas jangka panjang.
Banyak riset (OECD, 2021) membuktikan digitalisasi mempercepat integrasi UMKM ke pasar yang lebih luas, menekan biaya distribusi, dan meningkatkan efisiensi rantai pasok. Dampak ini memang tidak langsung terlihat dalam PDRB, tapi berproses secara bertahap.
Faktanya, di Jambi semakin banyak UMKM memanfaatkan marketplace digital untuk menjangkau pasar nasional bahkan global. Petani kopi, pelaku batik, hingga pengrajin lokal kini bisa bertransaksi dengan pembeli luar daerah, sesuatu yang sulit dilakukan tanpa digitalisasi.
Digitalisasi juga membuka jalan keluar dari ketergantungan Jambi pada sektor pertambangan. Dengan memperkuat perdagangan, pertanian modern, dan jasa kreatif, digitalisasi justru menjadi motor diversifikasi ekonomi.
Memang benar literasi digital dan infrastruktur belum merata. Namun justru karena itu, digitalisasi harus didorong sejak sekarang agar Jambi tidak tertinggal.
Menunggu semua sempurna hanya akan membuat momentum hilang. Transformasi ekonomi modern selalu dimulai dari perubahan perilaku transaksi, lalu merembet ke produksi, distribusi, hingga struktur industri.
Kritik terhadap kebijakan tentu sah-sah saja. Tetapi kritik yang sehat harus disertai solusi, bukan sekadar menyalahkan. Menutup mata terhadap langkah-langkah positif Gubernur Al Haris, termasuk digitalisasi, sama saja mengabaikan peluang membangun Jambi lebih maju.
Digitalisasi bukan sekadar instrumen pendukung, melainkan motor baru yang mampu menurunkan biaya produksi, memperluas pasar, membuka lapangan kerja, dan mempercepat diversifikasi ekonomi.
Pada akhirnya, pembangunan memang butuh waktu, konsistensi, dan dukungan semua pihak. Karena yang sedang dibangun bukan hanya gedung, melainkan masa depan Jambi itu sendiri.