Ungkap.co.id – Inflasi Indonesia per November 2022 yang sebesar 5,42% adalah buah kerja sinergis Tim Pengendali Inflasi Nasional (TPIN) yang terdiri dari TPIP dan TPID di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.
“Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sangat menghargai kerjasama pemerintah pusat dan daerah seperti ini,” ujar Andre Vincent Wenas, juru bicara DPP PSI bidang ekonomi dalam keterangannya, Senin, 5 Desember 2022.
Kata dia, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional di triwulan ketiga 2022 tercatat 5,72% dan laju inflasi yang terus terkendali seperti ini maka, boleh sedikit lega dan bahkan mulai optimis bahwa Indonesia bisa meraih pertumbuhan riil ekonomi di tahun 2022 ini.
Menurut Andre, kinerja ini mesti terus dipertahankan, bahkan dipacu lebih keras dan disiplin lagi demi mencapai target APBN 2023 yang mematok PDB sebesar 5,3%. Sementara inflasinya 3,6% sehingga pertumbuhan ekonomi riilnya bisa 1,7%.
Baca Juga : Ini Penyebab Inflasi dan Harga Barang Melambung Tinggi di Provinsi Jambi
“Tingkat inflasi Indonesia per November 2022 yang 5,42% ini relatif jauh lebih baik dibanding beberapa negara G20, seperti Argentina yang mencapai 88%, Turki 85,51%, Belanda 14,3%, Rusia 12,6%, Italy 11,8%, Inggris 11,1%, Jerman 10%, UE 10%, Meksiko 8,4%, AS 7,7%, Afsel 7,6% dan Australia 7,3%. Sementara Jepang yang memang masih di 3,7%,” ungkapnya.
Dijelaskan Andre, sebagai perbandingan catatan inflasi di beberapa negara Asia Tenggara per November 2022 adalah sebagai berikut: Laos 36,75%, Myanmar 19,42%, Filipina 7,7%, Timor Leste 7,3%, Singapura 6,7%, Thailand 5,98%, Kamboja 4,4%, Brunei 4,3%, Vietnam 4,3%, dan Malaysia 4%.
Ada beberapa catatan dari DPP PSI agar pertumbuhan ekonomi yang riil yang ditargetkan untuk tahun 2023 itu bisa terealisasi.
“Penurunan ongkos produksi lewat program efisiensi secara nasional. Salah satu yang penting adalah memangkas ongkos logistik. Ingat kontribusi inflasi dari kelompok transportasi per November 2022 masih tercatat 15,45%. Ini yang terbesar,” ujar Andre.
Baca Juga : Inflasi di Bungo Tertinggi, Jambi Tertinggi di Indonesia, Akankah Turun?
Inisiatif lain yang bisa menurunkan kenaikan ongkos produksi sebagai faktor penting mahalnya harga, selain infrastruktur (jalan, pertanian, manufaktur terkait hilirisasi, dan lainnya) adalah soal keseimbangan pasokan (supply) dan permintaan (demand) terhadap berbagai macam komoditi dagang, terutama soal pangan.
“Kebijakan terkait ketahanan pangan nasional mesti bersifat antisipatif, bukan reaktif atau sekedar kuratif,” imbuhnya.
“Jangan sampai soal perencanaan serta realisasi keseimbangan pasokan dan permintaan di bidang pangan seperti beras, minyak goreng, bawang (merah maupun putih), jagung (untuk orang maupun pakan ternak), kedelai (untuk bahan baku tahu-tempe), daging, telur, garam, buah, dan susu serta lainnya itu jadi terbengkalai lantaran para pengambil kebijakan serta operator di lapangan lebih sibuk mengurus kepentingan politik pragmatis para Kepapa Daerah maupun parpolnya mengingat kita sudah memasuki tahun politik. TPIP dan TPID mesti tetap kompak dan sinergis,” pungkas Andre. (S Hartono)