Oleh: Dr. Suriyanto Pd, SH.,MH.,M.Kn
Ungkap.co.id – Negeri ini banyak pemimpin pintar juga banyak ahli di berbagai bidang dan segala pakar tetapi sulit untuk membuat sistem yang benar-benar berpihak terhadap rakyat. Banyak kebijakan yang seolah-olah berpihak terhadap rakyat tetapi jika ditelusuri secara luas dan mendalam muaranya menindas rakyat dan memeras keringat rakyat secara tidak langsung tapi nyata.
Salah satu contohnya pada bidang tanaman sawit, baik tanaman swadaya masyarakat maupun tanaman perusahaan yang masing-masing menanam sawit dengan data upaya sendiri-sendiri, tetapi setelah TBS dipanen oleh para pekerja dengan keringat dan diolah oleh PKS dengan mandiri, sehingga jadi CPO dan produk turunannya tiba-tiba negara hadir melalui pemerintahnya memberi tarif bea keluar dan pungutan eksport yang jika dihitung dan perhatikan secara benar sangat luar biasa tingginya.
Inilah hitungan bea keluar CPO dikenakan tarif sebesar US$124 per metrik ton, yang berlaku sejak September 2025, demikian dilansir DDTCNews dan DDTCNews.
Namun, perlu diingat bahwa selain bea keluar ini, ada pungutan ekspor tambahan sebesar 10% yang juga dikenakan pada CPO, yang mulai berlaku sejak Mei 2025, menurut CNBC Indonesia. Jika pengiriman sejumlah 50.000 M/T maka eksportir harus membayar Rp. 103.7 miliar untuk bea keluar belum lagi pungutan ekspornya.
Ditambah dengan pungutan ekspor CPO per hari ini mengacu pada tarif pungutan yang berlaku berdasarkan harga referensi terbaru yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan.
Peraturan terbaru (PMK 30/2025) menetapkan pungutan ekspor CPO sebesar 10% dari harga referensi, dengan harga referensi saat ini adalah USD 963,75 per metrik ton, maka permetrik tonya USD 96/MT dan jika dirupiahkan dalam pengiriman 50 ribu MT adalah 80.16 miliar rupiah.
Baca Juga : Batam Sumbang 76 Persen Kegiatan Ekspor di Provinsi Kepri
Dalam 50 ribu ton pengiriman CPO ke luar negeri jika ditambahkan bea keluar dan pungutan ekspor maka biayanya sebesar Rp. 183.86 miliar angka yang sangat fantastis. Padahal keuntungan eksportir setengahnya juga belum tentu dapat. Lebih miris modal dari beli CPO untuk ekspor yang sangat besar tidaklah ada sedikit bantuan dari pemerintah. Jika menggunakan uang bank harus bayar bunga bank pula.
Jika kita cermati dengan biaya keluar dan pungutan ekspor CPO yang sangat besar itu sama dengan memeras keringat para pekerja sawit, petani sawit juga para pengusaha pabrik kelapa sawit. Karena jika ekspor menurun tentu harga sawit murah dan demikian sebaliknya. Pungutan yang sangat besar tersebut juga menekan harga TBS di petani dan perusahaan yang berimbas dengan upah para buruh sawit baik pemanen maupun buruh pabrik.
Baca Juga : Diyakini Ekspor-Impor Meningkat, Kapal Kargo Batam-China Perdana Berlayar
Lantas penggunaan dari pada bea dan pungutan ekspor juga tidak pernah transparasi seperti di negara luar. Artinya bea dan pungutan ekspor CPO ini sama dengan pemerasan terstruktur dibalut aturan. Hal ini juga tidak sesuai dengan dukungan negara dibidang ekspor di kancah internasional.
Pengusaha baru mau berusaha, sudah pusing tujuh keliling dengan bea dan pungutan ekspor yang hanya menguntungkan sepihak pemerintah dengan aturan yang sesuka hati. Tanpa memikirkan imbas dari aturan tersebut menindas pengusaha dan masyarakat petani sawit dan buruh sawit.
Di Pemerintahan Presiden Prabowo dan Kemenkeu Purbaya harus tegas untuk menghitung bea dan pungutan ekspor CPO agar berimbang, negara dapat, pengusaha dapat bekerja dengan baik tidak menggelapkan pajak yang luar biasa menindas. Petani sawit juga buruh sawit tidak mengeluh dengan harga dan upah yang selalu tidak stabil dengan aturan pemerintah yang tak berpihak kepada rakyat. (***)




