Oleh: Pakar Hukum dan Akademisi Dr. Suriyanto Pd, SH., MH., M.Kn
Ungkap.co.id –
Dalam beberapa hari ini, jagad politik tanah air dikejutkan oleh sosok muda asal Solo, Kaesang Pangarep. Kaesang yang tidak memiliki latar belakang politik dan masih sangat awam, tiba-tiba didapuk menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia [PSI].
Karir politik putra bungsu Presiden Jokowi ini, melesat cepat bak meteor. Pasalnya hanya berselang dua hari sejak menerima kartu tanda anggota [KTA], Kaesang langsung menduduki kursi pucuk pimpinan PSI menggusur ketua umum sebelumnya, Giring Ganesha.
Publik pun lantas bercuriga, penunjukan Kaesang pun menuai kritik. PSI dalam menjalankan roda organisasinya, dinilai hanya berorietnasi pada kekuasaan.
Penunjukan Kaesang sebagai ketua umum parpol, terkesan sangat dipaksakan, dan aroma politik dinasti tercium merebak kemana-mana. Kecurigaan publik ada agenda politik Jokowi menurut saya sangat beralasan, mengingat Kaesang belum memiliki jam terbang yang mumpuni di dunia politik.
Baca Juga : Usai Hadiri Kongres, Pengurus PWI Kota Jambi Lakukan Study Tiru di Jabar
PSI menurut saya, terlalu terburu-buru menetapkan Kaesang Pangarep sebagai ketua umum. Hal ini karena dari sisi pengalaman politik jelas sangat rendah sekali. Ditambah ia pun dianggap masih terlalu dini untuk mengisi jabatan sangat strategis itu.
Kaesang tercatat menjadi kader PSI pada hari Sabtu (23/9/2023) kemarin. Namun cukup dua hari saja, ia langsung melenggang menjadi ketua umum. Sungguh aneh bin ajaib.
Kursi Ketua Umum yang dipegang Kaesang memberikan peluang besar dirinya secara instan maju dalam bursa Pilkada. Permainan politik dinasti menjadi semakin terang benderang.
Baca Juga : Sikapi Tahun Politik, Pameran Karikatur Hadir di Jambi, Ayo Datang!
Fenomena dinasti politik tersebut yang kemudian justru menghambat konsolidasi demokrasi di tingkat lokal, sekaligus melemahkan institusional partai politik dan lebih mengemukakan pendekatan personal ketimbang kelembagaan.
Sangat memprihatinkan, di negara yang menganut sistem demokrasi, tapi dirusak dengan politik dinasti. Demokrasi yang sudah terbangun dan diperjuangkan dengan susah payah, kembali dilemahkan.
Akibat fenomena dinasti politik, rekrutmen politik hanya dikuasai oleh sekelompok atau segelintir orang melalui oligarki. Padahal Indonesia merupakan negara demokrasi, dimana dalam memilih pemimpin, rakyat mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi langsung di dalam pemilihan umum, baik dalam hal memilih eksekutif maupun legislatif, baik tingkat nasional maupun tingkat daerah.
Baca Juga : Hadapi Tahun Politik, Media Harus Obyektif dan Jangan Terjebak Polarisasi
Perlu ada kesadaran untuk mencegah praktik politik dinasti ini. Solusi untuk mengurangi politik dinasti adalah melakukan pendidikan politik bagi warga negara, partai politik harus melakukan kaderisasi, sistem pengawasan kekuasaan politik harus ditingkatkan, serta mendorong terciptanya pemerintahan yang bersih dan bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Sebagai Kepala Negara, Presiden Jokowi seharusnya menjadi pejuang demokrasi yang saat ini berjala tertatih-tatih, bukan malah membangun dinasti politik yang justru merusak esensi dan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. (***)